Kemen PPPA Gelar Acara Focus Group Discussion (FGD) di Kampus UKSW Salatiga, dengan Tema Penguatan Pendampingan dan Sinergi (Channeling) antar Lembaga dalam Pemenuhan Hak Anak Penyintas

Lintangpena.com, – Salatiga, Jawa Tengah | Menindaklanjuti surat Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) No B 573A/D.PHA/TK.03/9/2023 tanggal 19 September 2023 perihal pemberitahuan pelaksanaan kegiatan yang mana Kemen PPPA dibantu Lembaga Masyarakat bersama Pemprov Jawa Tengah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana gelar acara Focus Group Discussion (FGD) Rencana Aksi : Penguatan Pendampingan dan Sinergi (Channeling) antar Lembaga dalam Pemenuhan Hak Anak Penyintas di Gedung F201 Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Jl. Diponegoro No. 52-60 Salatiga Jawa Tengah (Selasa 28 November 2023) dimulai pukul 08.00 WIB – selesai.

Hadir dalam kegiatan tersebut sebagai undangan diantaranya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga, Kepala Dinas Sosial Kab. Semarang dan Kota Salatiga, Ketua LSM Pendamping Kab. Semarang dan kota Salatiga, serta berbagai Dinas lainnya dari dua wilayah.

Bacaan Lainnya

Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan dimeriahkan pula oleh tiga anak berbakat yang mewakili dari PKMB Home Schooling Krista Pertiwi dan Psikologya Centre Bawen yang didampingi oleh Pimpinan nya Ny. Kristien Wedhar Hapsari M. Psi., dan Ny. Margaretha Lina Wahyu Wulansari M.Psi., serta  Miss Ayu, juga para orang tua dari anak-anak Hebat dan Berbakat tersebut.

Sesaat setelah pementasan tarian, Dr. Ina selaku Moderator dari kampus UKSW mengajak audiens untuk menari mengikuti gerakan tarian yang diperlihatkan oleh anak-anak hebat dari PKMB Home Schooling Krista Pertiwi dan Psikologya Centre Bawen.

Dalam sambutannya Dr. Ina menyampaikan bahwa inilah Thor dari kegiatan tersebut ” Urgensi Resiliensi Penyintas Usia Anak Pada Desember 2021 lalu, Kemen PPPA telah merilis Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2021. Hasilnya secara garis besar, menunjukan prevalensi anak usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupya. Data SIMFONI PPA tahun 2021 dari Januari sampai dengan Desember 2021, jumlah anak korban kekerasan yang dilaporkan sebanyak 15.912 anak. DATA SIMFONI PPA menunjukan jumlah anak yang menjadi korban kekerasan pada tahun 2022 dari Januari s/d Juni sebanyak 7.169 anak. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban yaitu kekerasan seksual (56,37%), psikis (23,59%), dan fisik (20,59%). Sementara layanan yang paling banyak diterima korban yaitu pengaduan (55,59%), kesehatan (19,77%), dan bantuan hukum (16,48%). Bila dilihat menurut provinsi, provinsi Jawa Tengah menempati urutan kedua dengan jumlah korban anak sebanyak 554 orang. Sedangkan urutan pertama adalah Provinsi Jawa Timur dengan jumlah korban usia anak sebanyak 569 anak. Setiap bentuk kekerasan pada anak memiliki dampak yang serius terhadap perkembangan fisik, emosional, dan sosial anak. Penting untuk mengenali tanda-tanda kekerasan pada anak dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi mereka serta memberikan dukungan yang diperlukan untuk pemulihan. Sistem perlindungan anak, pendidikan tentang hak anak, serta dukungan profesional dan masyarakat sangat penting dalam mengatasi kekerasan terhadap anak.

Kekerasan terhadap anak dapat menimbulkan trauma mulai dari ringan hingga berat. Klasifikasi kondisi pasca trauma pada anak yang mengalami kekerasan baik fisik, verbal maupun psikis dapat diidentifikasi berdasarkan sejauh mana kekerasan tersebut mempengaruhi kesejahteraan dan keselamatan anak.

Berikut adalah beberapa kondisi pasca trauma terhadap anak yang mengalami kekerasan menurut Muhammad Noor Romadlon dalam AD Lestariningsih (2023:329), antara lain; Pertama, ada korban yang “belum selesai” dengan dirinya sendiri. Mereka masih sering mengalami trauma, sebagai dampak dari kekerasan yang mereka alami di masa lalu. Mereka juga mengalami eksklusi dari keluarga/masyarakat terdekatnya.

Kedua, ada korban yang “sudah selesai” dengan trauma dan kesulitan mereka, tetapi masih belum cukup terbuka dengan identitas masa lalunya. Mereka belum siap dikenal secara luas. Mereka mau terbuka, tetapi hanya dalam cakupannya yang terbatas, yaitu dengan sesama korban saja.

Ketiga, ada mereka yang sepenuhnya terbebas dari diri dan identitasnya di masa lalu. Mereka bersedia berkumpul, menghadiri pertemuan, serta berinteraksi. Keempat, mereka yang sudah menjadi penyintas, dalam arti mereka tidak hanya bebas tetapi juga memiliki kepedulian terhadap sesama teman-temannya yang senasib. Mereka bersedia membagikan pengalamannya untuk membantu sesamanya atau sumber belajar untuk pencegahan Dalam konteks kekerasan terhadap anak maka praktek kekerasan tersebut adalah pelanggaran hak anak yang serius/berat dan memerlukan penanganan yang serius dan komprehensif. Dalam semua tingkat kekerasan, anak membutuhkan perlindungan, dukungan, dan intervensi yang tepat untuk memastikan keselamatan, pemulihan, dan perkembangan yang sehat. Tanggapan terhadap kekerasan pada anak harus dilakukan dengan sensitivitas dan profesionalisme oleh tenaga kesehatan, psikolog, pekerja sosial, konseling pastoral, parenting, pihak berwenang, dan lembaga terkait lainnya.

Korban tindak pelecehan seksual mengalami tekanan baik secara fisik maupun psikologis. Kemampuan untuk bangkit dan sembuh dari trauma dikenal dengan istilah resiliensi. Resiliensi adalah kapasitas seseorang yang membuat mereka mampu bertahan dan tegar menghadapi banyak tekanan yang dihadapi (Bukhori, Hassan, Hadjar, & Hidayah, 2017). Dalam hal ini resiliensi adalah kemampuan personal/kelompok/keluarga yang tidak terlepas dari lingkungan masyarakatnya (ekosistem). Holling (1973) dan Walker et al. (2004) mengemukakan resiliensi sebagai kemampuan seseorang/kelompok/keluarga bahkan lembaga dalam memahami menyerap perubahan atau gangguan yang dihadapi dan melakukan reorganisasi sehingga sistem dapat mempertahankan fungsi, struktur, identitas, dan memberikan umpan balik agar sistem tetap berfungsi dan mereka dapat keluar dari gangguan tersebut. Hunga (2021) menambahkan resiliensi adalah kemampuan manusia yang terkait erat dengan lingkungannya dalam merespons, beradaptasi, serta melakukan tindakan untuk keluar dari persoalannya. Resiliensi yang dimiliki seseorang dengan cara mengembangkan keterampilan, kapasitas, perilaku, dan tindakan untuk keluar dari kesulitan tersebut. Resiliensi dapat dilihat dalam level personal, komunitas, usaha, lembaga yang berhadapan dengan ekosistemnya. Kualitas resiliensi setiap orang tidaklah sama, karena kualitas resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, gender, taraf perkembangan, intensitas seseorang dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial dalam pembentukan resiliensi pada diri seseorang (Grotberg, 1995). Ross dan Mirowsky (2001) menyatakan bahwa perempuan lebih rentan
mengalami distress psikologis dibandingkan laki-laki karena adanya tuntutan peran gender yang lebih besar (Azzahra, 2017). Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung begitu intens dan cepat, seseorang perlu mengembangkan kemampuan yang ada pada dirinya sedemikian rupa agar mampu melewati keadaan tersebut secara efektif. Agar individu mampu menjaga kesinambungan hidup yang optimal, dibutuhkan kemampuan resilien yang tinggi. (Cloninger & Zohar, 2011; Dyrbye & Shanafelt, 2012; Richardson, 2002; Tempski, Martins, & Paro, 2012). Resilensi sendiri merupakan suatu skill, kemampuan, pengetahuan, insight untuk berjuang, menghadapi kesulitan dan menghadapi tantangan agar bisa keluar dari kesulitan dan
tantangan tersebut yang ada dalam sistem/ekosistemnya (Garmezy, 1993).

Dalam konteks anak korban kekerasan yang dalam kondisi terpuruk maka resiliensi anak korban
kekerasan dapat terbangun melalui komitmen ekosistem memberikan soft dan hard skill yang menumbuhkan resiliensinya memahami, beradaptasi, dan mengambil peran aktif dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat. Reivich dan Shatte (2002) menyatakan bahwa resiliensi berfungsi sebagai overcoming dalam kehidupan. Manusia terkadang dihadapkan pada suatu masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat mereka hindari. Resiliensi ini berfungsi untuk menghindar dari kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal yang tidak menyenangkan, dengan cara mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan
kemampuan untuk mengontrol kehidupan sendiri. Resiliensi juga berfungsi sebagai steering through. Individu yang resilien mampu memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya dengan kapasitas sumber daya yang ada dalam dirinya. Resiliensi juga dapat digunakan sebagai bouncing out. Ketika seseorang mengalami pengalaman traumatik, resiliensi yang tinggi akan membuat individu mampu dengan cepat kembali ke kehidupan yang normal dan bangkit dari keterpurukan. Selanjutnya, resiliensi berfungsi sebagai reaching out. Studi Tugade dan Fredrickson (2004) menegaskan bahwa resiliensi membuat individu dengan pengalaman traumatis salah satunya pelecehan seksual, akan memiliki kemampu reflektif untuk mengubah peristiwa yang sangat menekan dan tidak menyenangkan tersebut menjadi sumber belajar dan pengalaman untuk keluar dari lingkaran traumatisnya.

B. ‘Pilot’ Program Resiliensi Penyintas Anak di 6 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Kementerian PPPA telah melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak melalui berbagai program dan kebijakan pemenuhan hak anak antara lain hak sipil dan partisipasi, hak kesehatan, hak Pendidikan, dan hak pengasuhan anak. Layanan pemenuhan hak anak khususnya kesehatan mental bagi anak penyintas kekerasan membutuhkan penanganan reintegrasi dan penguatan resilience menjadi indikator penting dalam pembangunan nasional, yang akan menentukan kualitas hidup anak di masa yang akan datang. Untuk menyelesaikan persoalan penguatan resiliensi anak penyintas korban kekerasan baik sebagai korban maupun pelaku maka membutuhkan dukungan bagi proses reintegrasi sosial, termasuk penguatan kesehatan mental agar resiliensi anak ketika terjadi reintegrasi sosial dapat hidup normal. Reintegrasi sosial dapat diartikan sebagai proses penyiapan anak korban, anak pelaku, dan/atau anak saksi untuk dapat kembali ke lingkungan keluarga dan/atau masyarakat. Fungsi reintegrasi adalah penyesuaian diri anak dengan kondisi dan norma yang berlaku di lingkungannya agar terhindar dari stigma negatif dan munculnya kekerasan baru, sehingga anak dapat melakukan peran sosialnya di tengah masyarakat. Secara umum, belum ada regulasi spesifik yang mengatur mekanisme reintegrasi sosial sehingga intervensi yang dilakukan dalam proses reintegrasi sosial termasuk penguatan resiliensi bagi penguatan resiliensi anak penyintas korban kekerasan.

Belum adanya program yang menyentuh terhadap penguatan kesehatan mental anak agar anak dapat hidup mandiri dan mendapatkan hak-haknya sebagaimana tertuang dalam KHA. Untuk menjawab tantangan tersebut, Kemen PPPA hadir untuk memberikan Penguatan Resiliensi dan Kapasitas Anak Penyintas Kekerasan, baik secara softskill maupun hardskill yang komprehensif dengan melibatkan lembaga, asosiasi, dan stakeholder yang ada di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota agar dapat terkoordinasi dengan baik, sebagai bentuk pemenuhan Hak Anak di bidang kesehatan.Pada tahun 2023 Kemen PPPA menargetkan sebanyak 865 anak yang akan diintervensi pemenuhan hak anak dalam rangka penguatan resiliensi dan kapasitas anak penyintas kekerasan. Dari data tersebut akan dipilih data anak yang sudah siap melakukan proses reintegrasi sosial, berkoordinasi dengan UPTD PPPA yang ada di wilayah tersebut. Pemilihan lokus daerah berdasarkan data SIMFONI PPA Juni 2022 dengan lokus 6 Provinsi tertinggi untuk kasus kekerasan anak dan salah satunya adalah Prov. Jawa Tengah yang dilaksanakan di 6 kabupaten/kota, yaitu; 1) Kota Salatiga; 2) Kabupaten Semarang; 3) Kota Pekalongan; 4) Kabupaten Tegal; 5) Kabupaten Banyumas, dan 6) Kabupaten Kebumen. Secara keseluruhan ada sebanyak 200 orang penyintas.

Sementara itu Ny. Kristien Wedhar Hapsari M.Psi, selaku Pimpinan PKMB Home Schooling Krista Pertiwi mengatakan, ” Kegiatan ini banyak sekali manfaatnya, melibatkan banyak pihak terkait dan tentunya akan berdampak luas ke depan nanti. Kerjasama yang dilakukan tentunya akan membawa banyak perubahan baik. Pemerintah dalam hal ini KPPPA menunjukkan komitmennya dalam mencegah dan menangani permasalahan-permasalahan yang muncul terkait perempuan dan anak.

Ditambahkan oleh Ny. Margaretha Lina Wahyu Wulansari M.Psi., selaku  pimpinan Psikologya Centre Bawen ” Kegiatan ini merupakan wujud kepedulian pemerintah dalam hal ini Kementrian PPPA terhadap anak-anak penyintas kekerasan. Pendampingan psikologis dibutuhkan agar anak-anak penyintas kekerasan  bisa  sembuh dari traumanya, lebih adaptif  dan siap kembali ke masyarakat. Dibutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak untuk bersama-sama mencegah dan menangani kekerasan pada perempuan dan anak.

Team liputan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *